Penulis : Azzura Dayana
Penyunting Bahasa :
Mastris Radyamas
Penata Letak : Puji
Lestari
Desain Sampul : Adhi
Rasydan
Penerbit : Indiva Media
Kreasi
Cetakan pertama :
Ramadhan 1434 H/Juli 2013
Tebal : 416 halaman
“Dendamku sebenarnya
masih sangat berkobar di sini. Pertanyaannya setelah aku tahu kebusukan dari
tragedi yang membunuh ibuku ini, apakah aku tidak boleh membunuh ayahku atau
ibu tiriku.” (halaman, 272).
Ada banyak sekali
penyebab kita sulit sekali memaafkan kesalahan orang lain yang dilakukan kepada
kita, apalagi itu sampai menghilangkan nyawa seseorang yang kita sayangi. Apa
yang harus kita lakukan?
Seolah sedang musim
gugur di Borobudur. Benar-benar langsung mengingatkanku pada bait terakhir
salah satu puisi pendekmu itu. Kamu lihatlah, daun-daun pepohonan berserak di
sekeliling candi. (halaman, 7).
Novel ini diawali dari
sebuah pertemuan antara Farras dan Mareta di kawasan komplek Candi Borobudur. Mareta
sibuk dengan obrolan di telpon genggamnya sembari menyebutkan nama “monster”
cukup menyita perhatian Farras.
Membuat Farras terus
berusaha mencari tahu siapa orang disebrang saluran telpon Mareta, apakah orang
itu adalah seseorang yang sedang ia cari selama ini. Singkatnya, mereka menjadi
akrab serta bersama-sama melakukan perjalanan ke Sulawesi Selatan, Mareta
tertarik dengan harga tiket pesawat yang murah dari agen travel tempat teman
Farras berkerja walau harus melakukan penerbangan di Surabaya. Tentunya, sebuah
perjalanan yang menyimpan ‘misi’ masing-masing.
Di Sulawesi Selatan
mereka tidak satu tujuan, Mareta memutuskan untuk ke Selayar sementara Farras
ke Tanjung Bira.
Ranu
Pane
Lima
tahun lalu dia datang pertama kali ke Ranu Pane , bersama rombongannya yang
berjumlah dua puluh orang. Di pertengahan Agustus tahun itulah yang menjadi pertemuan pertama antara aku dan
Ikhsan. (halaman, 36)
Fikri dan Ikhsan sempat
cekcok karena tidak mendapatkan wisma kosong lagi di desa Ranu Pane. mereka berdua adalah pentolan komunitas pencinta alam dari
ibukota, pada saat itu sedang membawa rombongan pendaki junior. Di sanalah
Farras melintas dan menawarkan bantuan serta menjadi awal pertemuan Farras dan
Ikhsan.
Novel lintas tokoh, ada
tiga tokoh di sini; Farras, Mareta, dan Ikhsan. Memiliki watak dan latar
belakang yang berbeda. Farras gadis desa yang lembut tutur perangainya. Mareta
gadis backpaker sejati, berpenampilan tak karuan. Ikhsan pemuda dari keluarga broken home, sering mendapatkan
ketidakadilan, membuat dia terlahir menjadi pemuda penuh dendam, sulit
memaafkan serta pemuda yang sulit berteman dengan orang baru.
Dari ketiga tokoh itu
semuanya menggunakan sudut pandang orang pertama membuat kita tidak akan bosan
membacanya apalagi disajikan dengan gaya bahasa yang ringan dan santai. Tidak
hanya itu saja, penulis berhasil menyajikan cerita yang mengalir, membawa
pembacanya terhanyut dalam isi cerita.
Lewat novel ini juga
secara tak sengaja kita akan diajak jalan-jalan ke tempat wisata terbaik di
negeri ini, tentang Candi Borobudur, Tanjung Bira, dan tentunya desa Ranu Pane
serta Gunung Semeru. Saya yang masih memiliki impian untuk mendaki gunung Semeru cukup terwakilkan lewat novel ini, bagaimana suasana Ranu Kumbolo, Tanjakan Cinta, shelter terakhir di Kalimati, dan apa yang harus kita lakukan agar bisa mencapai puncak Semeru yang
memiliki tingkat kemiringan 45 derajat, dengan medan berpasir dan bebatuan.
Tak hanya menyajikan
cerita yang berlatar belakang Ranu Pane, tetapi banyak pelajaran hidup yang bisa
kita petik dari novel altitude 3676 ini, belajar dari Ikhsan bagaimana sulitnya
memaafkan dan berdamai dengan dirinya sendiri. Ketika ia dan ibunya sering diteror
oleh ibu tirinya, tidak dipedulikan oleh oleh sang ayah, menjadi pupuk yang
menumbuhkan dendam pada diri Ikhsan, apalagi sampai harus kehilangan nyawa
ibunya.
Dari Farras kita bisa
belajar bagaimana caranya melembutkan kepribadian orang yang sudah terlanjur
keras kepribadiannya, sebab tercipta kerena keadaan, hal itu karena lembutnya
pula pribadi Farras, begitu sabar menghadapi watak Ikhsan, pemuda yang hanya
dikenalnya beberapa kali di Ranu Pane.
Aku
ingin saja ikut marah, tapi aku ingat perkataan Khalil Gibran: Sebuah perselisihan
akan menjadi jalan yang paling singkat di antara dua pikiran. Kalau aku
terpancing marah, otomatis kami akan saling mengecam, kemudian saling menjauhi
dan membenci. Kalau sudah begitu, hubungan kami adalah: teman belum sampai,
musuh jelas sudah. Lalu, untuk apa perkenalan, untuk apa sapaan, untuk apa
pertemuan? (halaman, 64-65)
Masih banyak lagi
kisah-kisah seru dalam novel ini, tentang siapa Mareta dan ada hubungan apa
dengan lelaki yang sering ia panggil monster, sehingga menarik semua perhatian
Farras. Tentang siapa sebenarnya pengirim foto ke email Farras. Kamu penasaran?
Langsung saja baca novelnya yah; Altitude 3637 Takhta Mahameru karya Mbak
Azzura Dayana. Sekian.
11 Komentar
-
ilham 9 Agustus 2018 pukul 00.42 Tahta Mahameru memang keren. Gara-gara novel ini saya jadi ke Mahameru ha haf -
Amanda ratih pratiwi 9 Agustus 2018 pukul 16.28 Kayaknya ini sekuelnya Tahta Mahameru ya, udh baca ttg tanjung bira tp baru setengah sih. Dan emang kuat bgt karakternya -
Mira Kaizen 9 Agustus 2018 pukul 19.28 Wah kren tulisannya mbk Azzura Dayana, jadi kepengen baca novelnya secara langsung kykny -
Lia Siregar 10 Agustus 2018 pukul 00.46 Saya sdh punya novelnya tp belum sempat baca.. -
Milda Ini 12 Agustus 2018 pukul 19.09 Saya udah menerapkan hal.ini pada diri sendiri dan hasilnya jauh lebih legowo -
M Ivan Aulia Rokhman 12 Agustus 2018 pukul 19.30 Hikmah resensi ini adalah selalu memperbaiki diri dari segala kesalahan yang diperbuat. -
Ilham Sadli 12 Agustus 2018 pukul 19.38 Aku kok malah penasaran sama novelnya yak 😀😀